
Bungo Jambi, Indopublik-News.Com
KATA MELANGGAR memang mudah di ucapkan tetapi susah untuk di buktikan hal ini karena di negara INDONESIA yang berhak menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak secara HUKUM POSITIF adalah PENGADILAN, dalam pemberitaan banyak media mengunakan kata diduga, padahal sebenarnya orang yang di beritakan sudah dengan jelas dapat di pastikan sudah melanggar aturan baik itu Undang Undang (UU) Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) untuk kasus yang melibatkan seorang pengusaha besar di Kabupaten BUNGO yang bernama AMONG.
Indopublik-News.Com tidak mengunakan kata diduga karena, kami berkesimpulan asas PRADUGA tidak BERSALAH itu berlaku di ruang persidangan dan tidak berlaku di tengah masyarakat. Pengusaha AMONG kami nyatakan melanggar UU No. 32 Tahun 2009 karena sudah melakukan Penimbunan DANAU secara TIDAK SAH.
Hal itu dapat di buktikan dengan tidak adanya IZIN dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, sementara Penimbunan danau bersangkutan sudah AMONG lakukan tampa mengantongi izin apapun dari PEMDA Kabupaten BUNGO sebagai mana di atur pada PERMEN PUPR No. 21 Tahun 2020 yang mana setiap adanya upaya pengalihan aliran sungai harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Daerah dengan rekomendasi dinas PUPR Kabupaten Bungo.
Kebenaran dari apa yang kami sampaikan dapat kita buktikan di lapangan, kalau MEMINDAHKAN Aliran Sungai saja harus mendapat IZIN dari Dinas terkait yaitu DINAS PUPR Kabupaten Bungo, apalagi yang di lakukan oleh AMONG ini mematikan fungsi danau yang berakibat matinya sumber kehidupan ikan akibat kekeringan.
Untuk Transaksi ILEGAL yang dilakukan AMONG adalah dia telah membeli seluruh wilayah DANAU dari salah seorang Masyarakat yang Tanpa Hak untuk menjual DANAU tersebut dengan alasan apapun, sebab danau TIDAK bisa di akui sebagai milik perorangan tetapi bagian dari OBJEK Tanah dan AIR yang di kuasai PEMERINTAH demi kepentingan orang banyak.
Tindakan Among melakukan Penimbunan DANAU dan Membuat PARIT GAJAH di tengah lingkungan Masyarakat adalah satu bentuk MONOPOLI pengusahaan TANAH dan memutus akses kepentingan masyarakat. PARIT GAJAH di buat adalah dalam rangka memutus terjadinya komplik antara MANUSIA dengan GAJAH di daerah yang masih ada gajahnya bukan memutus atau menghalangi orang lain untuk lewat di tanahnya.
Apa yang di lakukan AMONG bila kita mengacu kepada UU No 32 Tahun 2009 yaitu Pasal 98 sudah dapat di kategorikan melakukan PENGRUSAKAN Lingkungan dengan ancaman Pidana Penjara paling singkat tiga (3) tahun dan paling lama sepuluh (10) tahun serta Denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 .(Sepuluh milyar rupiah).
Menguasai tanah Tanpa Hak dapat di Pidana dengan Pidana Penjara karena penyerobotan sesuai Pasal 385 KUHP dengan ancaman penjara paling lama empat (4) tahun . Nama Among menjadi cukup menarik untuk kami jadikan orang pertama di Kabupaten Bungo yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya baik secara Pidana dan Perdata karena adanya kompleksitas permasalahan yang rumit sebab pelanggaran yang akan menderang AMONG juga berhubungan dengan UU No.39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 138 Tahun 2015 dan Permentan No. 05 Tahun 2019 Tentang Izin Usaha Perkebunan yang sama sekali kami yakin tidak di miliki oleh AMONG yang memiliki kebun Sawit mencapai di atas 25 Hektar.
Dari ketiga aturan itu jelas bisa menjerat Among sebagaimana bunyi Pasal 105 UU No 39 Tahun 2014 yang dengan tegas mengatakan bahwa pemilik usaha Perkebunan Sawit di atas 25 Hektar yang tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan HGU dapat di Pidana Penjara paling singkat lima (5) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Pemberitaan ini adalah langkah awal untuk mendorong di tegakkan nya aturan yang berhubungan dengan izin, UU dan peraturan pemerintah yang berlaku. (Iwan).